Search

Senin, 07 November 2011

BIOGAS

Kelangkaan minyak bumi dan gas menyebabkan meningkatnya harga migas di dunia, Indonesia terkena dampak dari krisis energi yang terjadi di dunia. Sesuai dengan Peraturan Presiden Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Diversifikasi energi adalah pemanfaatan energi altenatif, salah satunya adalah Bahan Bakar Nabati (BBN), yang merupakan energi alternatif yang mudah diperoleh di Indonesia. Intruksi Presiden No. 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lain, merupakan suatu intruksi yang menegaskan pentingnya pengembangan BBN.


Biomassa sebagai bagian dari program BBN sangat potensial untuk dikembangkan di masyarakat, khususnya peternak atau petani. Instalasi biogas merupakan biomassa yang dikembangkan ditujukan untuk menghemat penggunaan energi dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat sehingga mampu menghasilkan energi alternatif jikalau krisis energi tidak dapat diatasi lagi. Pemasangan instalasi biogas juga ditujukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat biomassa yang dihasilkan oleh peternakan khususnya peternakan sapi perah.

Biogas bukanlah teknologi baru, Sejumlah negara telah mengaplikasikannya beberapa tahun lalu, seperti Rusia dan Amerika Serikat. Negara yang populasi ternaknya besar, seperti Amerika Serikat, India, Taiwan, Korea, Cina telah memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar. Di benua Asia, India merupakan negara pelopor dan pengguna energi biogas ketika masih dijajah Inggris. Kegiatan produksi biogas di India dilakukan sejak abad ke-19. Alat pencerna anaerobik pertama dibangun di India pada tahun 1900. India sendiri memiliki lembaga khusus yang meneliti pemanfaatan limbah kotoran ternak yang disebut Agricultural Research Institute dan Gobar Gas Research Station. Di Indonesia baru mengadopsi teknologi pembuatan biogas awal tahun 1970-an.

Kebudayaan mesir, Cina, dan Roma kuno diketahui telah memanfaatkan gas alam ini dengan cara dibakar untuk menghasilkan panas. Sejarah penemuan proses anaerobik digestion untuk menghasilkan biogas tersebar di benua Eropa. Penemuan ilmuwan Alessandro Volta terhadap gas yang dikeluarkan di rawa-rawa terjadi pada tahun 1776, dimana Volta pertama kali mengaitkan gas bakar ini dengan proses pembusukan sayuran. William Henry pada tahun 1806 mengidentifikasi gas yang dapat terbakar tersebut sebagai gas methan yang kemudian dilanjutkan oleh Avogadro. Setelah tahun 1875 dipastikan bahwa biogas merupakan produk dari proses anaerobik digestion. Becham (1868), murid Louis Pasteur dan Tapeiner (1882), menunjukkan asal mikrobiologis dari pembentukan methan. Tahun 1884, Louis Pasteour melakukan penelitian tentang biogas Era penelitian Pasteour menjadi landasan untuk penelitian biogas hingga saat ini menggunakan kotoran hewan.

Instalasi biogas yang menghasilkan gas yang ramah lingkungan, serta menghasilkan sludge (lumpur sisa pembuatan biogas) yang merupakan pupuk organik baik cair dan padat yang sangat berguna untuk pengurangan kerusakan tanah akibat pupuk kimiawi. Pada dasarnya penggunaan biogas memiliki keuntungan ganda, yaitu gas methane yang dihasilkan yang berfungsi sebagai bahan bakar, sementara limbah cair dan padat yang dihasilkan sebagai residu yang digunakan sebagai pupuk.




Peternakan sapi merupakan salah satu usaha yang sangat berpotensi tinggi dalam pengembangan energi alternatif salah satunya biogas. Peternakan yang berpotensi besar dalam menghasilkan limbah yang sangat banyak (biomassa) untuk mendukung pengembangan energi terbarukan ini adalah peternakan sapi perah. Hal ini didukung oleh potensi limbah yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah sangat tinggi dibandingkan peternakan lain.


Limbah ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan, seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah pemotongan hewan, dan pengolahan produk ternak. Limbah ternak meliputi limbah padat dan limbah cair, seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, dan isi rumen. Semakin besar skala usaha, limbahnya semakin banyak.

Pada peternakan kecil, limbah tidak begitu menjadi masalah. Jumlah limbah yang sedikit bisa ditangani dengan mudah. Berbeda dengan usaha peternakan skala besar, limbah yang dihasilkan akan banyak. Jika pengelolaan tidak dilakukan secara baik, bisa berakibat buruk. Sebagai gambaran, seekor sapi dengan berat 454 kg akan menghasilkan 30 kg limbah yang terdiri dari feses dan urine setiap hari. Dapat dibayangkan berapa banyak limbah yang dihasilkan jika 100 ekor sapi yang dipeternakan, dimana limbah dapat mencapai 3 ton perhari. Jumlah yang sangat besar, dan keberadaan limbah akan menjadi masalah serius, masyarakat di sekitar peternakan akan terganggu. Tidak saja baunya yang mengganggu, tetapi keberadaanya juga akan mencemari lingkungan, mengganggu pemandangan, dan bisa menjadi vektor penyakit (Simamora, 2006).

Hasil biogas dari rata 3 – 5 ekor sapi setara dengan 1-2 liter minyak tanah/hari (Deptan, 2006). Dengan demikian keluarga peternak yang sebelumnya menggunakan minyak tanah untuk memasak bisa menghemat penggunaan minyak tanah 1-2 liter/hari. Pemanfaatan biogas di Indonesia sebagai energi alternatif sangat memungkinkan untuk diterapkan di masyarakat, apalagi sekarang ini harga bahan bakar minyak yang makin mahal dan kadang-kadang langka keberadaannya.

Potensi limbah ternak khususnya kotoran sapi dalam menghasilkan biogas, nilai kalori yang dihasilkannya sangat tinggi dibandingkan limbah yang lainnya. 


 limbah sapi atau kotoran sapi sangat berpotensi untuk menghasilkan biogas, dibandingkan limbah lainnya. Pengusahaan biogas dan pupuk kompos (pupuk organik cair dan pupuk organik padat) sangat berpotensi dikembangkan pada peternakan, karena input yang dibutuhkan berupa limbah sapi, sehingga terdapat kemudahan dalam memperoleh input untuk proyek ini.

Disamping itu, limbah ternak yang dapat menghasilkan biogas dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar gas. Biogas ini merupakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan. Biocycle Farming ini merupakan cikal bakal pertanian ramah lingkungan.


Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pada industri kecil berbasis pengolahan hasil pertanian dapat pula memberikan multiple effect dan dapat menjadi penggerak dinamika pembangunan pedesaan. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk meningkatkan nilai tambah dengan cara pemberian green labelling pada produk-produk olahan yang di proses dengan menggunakan green energy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar